Wednesday, August 25, 2010

Senyum Kerinduan Untukmu Guru

Sebuah perjalanan panjang kisah seorang yang telah mendharma bhaktikan dirinya untuk ibu pertiwi. Beliau seorang guru yang telah banyak memberikan asupan sebuah ilmu pengetahuan, dengan sabar dan penuh kasih sayang dalam mendidik siwanya di sekolah. Namun dalam perjalanan waktu, sebuah perpisahan tidak dapat dihindarkan. Senyum dan tangis mengantarkan saat di mana kita harus melepaskan orang yang kita cintai. Semua siswa merasa kehilangan karena beliau merupakan sosok guru yang ideal bagi mereka.

Guru ideal……….? Aku bingung banget saat aku mulai memikirkan apa isi dari guru ideal dan apa maksudnya. Sering kali berfikir dan berfikir, sulit sekali untuk guruku yang selalu membimbingku dari segala hal. Tapi di sini, aku punya satu sosok guru yang menurutku beliau pantas untuk disebut guru ideal. Di sekolahku tercinta, aku punya seorang guru yang selalu peduli akan muridnya. Sayangnya sudah banyak guratan- guratan yang nampak di raut wajahnya, mungkin karena beliau tidak bisa mangelak akan pertambahan umur yang kian cepat. Beliau, Pak Rukin adalah sorang kepala sekolah, teman-teman banyak yang memanggil dengan julukan Kakek Tua. Dengan panggilan itu seakan kita bener- bener ada dalam ikatan yang begitu dekat dengan kakek renta ini. Dalam menjalankan roda kehidupannya Kakek Tua menjadi tiang tonggak perekonomian keluarga satu-satunya. Isterinya tersayang disibukan dengan mengurus anak dan rumah tangganya. Sedangkan anak- anaknya masih duduk di bangku kuliah dan yang satu masih mengenyam ilmu di bangku SMU. Sudah bertahun- tahun pengabdian kakek yang renta ini, tapi itulah tanggung jawab yang harus dipikulnya sebagai Kepala Sekolah.

Pagi- pagi sekali biasanya aku sudah sampai di sekolah untuk menyapa sekolahku dan pastinya untuk menenyam ilmu, terkadang lebih dulu dari Kakek Tua, meskipun seringkali aku yang lebih lambat. Setiap hari, pagi- pagi sekali Kakek Tua berdiri dekat tiang besar terbuat dari tembok di depan teras sekolah tepat pukul 05.30 pagi. Padahal dentang bel masuk sekolah masih 1 jam setengah lagi. Matanya menatap setiap murid yang datang sembari melebarkan bibirnya hanya untuk memberi senyuman manis pada muridnya. Membalas anggukan kepala dari pengantar yang senantiasa menganggukan kepala. Beliau berbincang- bincang dan bergurau akrab sedikit dengan para orang tua. Dengan senyum kanak-kanaknya para murid menghampiri dan mencium tangan beliau yang tidak sekuat dulu. Hal yang sesederhana itu beliau lakukan hanya untuk menggembirakan anak didiknya, walaupun beliau harus menahan dingin yang menusuk tulang- tulang rentanya. Beliau tetap tersenyum. Itu semua adalah kebiasaan yang mungkin sulit untuk dilupakan dan mungkin inilah kegiatan yang tidak akan pernah terlepas darinya. Kegiatan yang beliau lakukan dalam waktu- waktu beliau mengabdi.

Bel tanda masuk berdentang keras, beliau dengan gagahnya menuju ruang guru untuk mengambil tas tuanya terbuat dari anyaman daun pandan dan menuju ruang kelasku yang jaraknya cukup jauh dengan langkah yang tak seringan dulu, saat awal- awal beliau mengajar 25 tahun yang lalu. Kakek Tua ini masuk kelas 3 berdiri tepat di tengah kelas disambut do’a pembuka atau penghormatan murid. Saat- saat seperti itu dirinya merasa dianggap sebagai manusia terhormat dan seakan murid- murid berharap harta tak ternilai berupa ilmu pengetahuan dari beliau. Harta yang bisa merubah status sosial, ekonomi manusia, tetapi tidak akan bisa menggantikan pengorbanan dan rasa cintanya pada muridnya. Saat bel sekolah bernyanyi riang, menujukan berakhirnya waktu sekolah usai beliau bergegas menuju pintu gerbang untuk mengantarkan siswa- siswinya kembali dijemput orang tuanya. Sambil mengawasi keaadaan lalu lintas yang ramai tanpa henti di depan gerbang sekolah. Hal itu dilakukan sampai semua siwa- siswinya tak tersisa satupun. Terkadang aku sengaja tuk pulang agak terlambat, menemani Kakek Tua ini mengakhiri waktu tugasnya. Sering kali beliau membelikanku bakso yang ada di depan sekolah karena itu memang tujuanku menunggu kepulangan beliau. Jika ada yang terlambat dijemput, siswi disuruh menelepon orang tuanya dengan telepon yang sudah tua di sekolah. Jika orang tua tidak dapat dihubungi beliau selalu mengantar dengan ikhlas siswa tersebut. Rasa ikhlas itu terus tumbuh di benak kakeku yang renta ini.

Dengan seluruh jerih payahnya, beliau selalu bisa menarik perhatian dan kasih sayang para muridnya. Ketika beberapa orang bertanya apakah lelah mengajar lebih dari 25 tahun bersama kami, beliau bersama suara lembutnya hanya menjawab, “ Sedikitpun lelah yang yang saya rasakan, itu tak sebanding dengan senyum riang anak didik saya. Dengan senyum mereka saya akan selalu setia untuk tak memikirkan lelah sedikitpun. Itulah pentingnya anak didik saya.”. Aku sangat bangga dengan guruku yang satu ini, dengan segala pengorbanan dan ilmu yang diberikan. Kakek Tua yang sabar ini telah mengabdi sekuat tenaga. Beliau yang tegas, disiplin, ramah, dan bijaksana ini selalu bisa menyembunyikan rasa lelah dan beban yang ditanggungnya, meskipun itu terasa memeras hati dan pikiran beliau. Sesekali beliau memikirkan beban hidupnya beliau merasa layaknya orang yang paling berat beban hidupnya. Tapi beliau selalu melihat keadaan di mana beliau menjalin hidup. Beliau sadar bahwa masih banyak orang yang mengemban beban bahkan yang lebih berat dari pada beliau. Senyuman orang di sekitar beliau serasa obat paling mujarab baginya. Dan itu akan selalu dikenangnya sampai beliau tiada di antara kita. Sungguh mulianya pengorbanan untuk perjuangan hidup seorang yang renta di antara berjuta bahkan bermiliyaran juta orang yang masih bisa menuliskan tinta hidup di kertas masing- masing.
Sampai suatu hari terdengar kabar bahwa guru tersayang kami akan segera pensiun dari jabatanya. Aku dan temen- temenku kelas 3 SD tersentak kaget dan sampai meneteskan air mata mendengar berita yang tidak akan mau terdengar oleh kami muridnya. KENAPA? Karena belum- belum kami sudah merasakan rasa kehilangan yang amat mendalam. Tapi, kami sadar, kami harus bisa merelakan kepergian beliau karena ini memang keputusan pemerintah. Setiap hari kami selalu mengumpulkan uang sisa jajan kami untuk ongkos membeli kenang- kenangan guruku tercinta. Bel bedentang dua kali tanda jam istirahat tiba, aku tersenyum riang karena waktu menariki uang sumbangan tiba pula. ” Feb, ayo kita mulai berkeliling, moga kita daper banyak lagi ya!” Kataku sambil menepuk punggung sahabatku Febri. ” Iya ya moga kita bisa dapet banyak!” Febri nyengir dengan giginya yang besar- besar. Sedikit demi sedikit uang terkumpul. Kami membeli barang- barang pertukangan untuk beliau, mungkin dengan barang- barang tersebut Kakek Tua bisa selalu melakukan aktifitas dan tidak akan pernah melupakan kami. ” Ya, baru Rp 8.500,00 nggak apa- apa ya!” dengan wajah sedih aku mulai meyakinkan temanku sekelas bahwa kita harus tetap tersenyum demi Kakek kami. Hanya dengan uang yang terkumpul Rp 8.500,00 itu kami berharap bisa membahagiakan guru kami tersayang. Ya……………… maklum kami masih di bangku skelas 3 SD, kami masih belum tahu apa- apa dan mungkin uang Rp 8.500,00 itu nggak ada apa- apanya. Tetapi, kami sangat berharap hal ini merupakan hal yang paling berarti di hidup kami dan Kakek Tua.

Dan sampai akhirnya tanggal 12 April 2003, beliau tidak berdiri lagi di depan teras seperti biasanya. Beliau duduk di bangku halaman sekolah kita. Kakek Tua menunduk sedih dengan sesekali meneteskan air mata. Bel masuk berbunyi, upacara akan segera dimulai. Upacara terlihat amat khidmat, sesekali aku melihat guruku itu, wajahnya masih tertunduk dan beliau harus menahan tangis yang amat menyiksa. Aku ikut sedih, serasa aku belum siap kehilangan guru sebaik beliau.
Di tengah upacara, seusai amanat dari Ibsalah satu guru, Kakek renta ini disuruh maju ke tengah lapangan. Hatiku semakin nggak bisa ngelepasin guruku itu. Kakek Tua ini menjelaskan akan pelepasan jabatanya itu, meski ucapanya terdengar amat bindeng. Dan setiap kalimatnya terputus- putus karena digunakan untuk mengusap air matanya dengan tanganya yang kriput. Kami ikut terlarut dalam kesedihan yang mendalam. Suara tangisan kami terdengar keras seolah tangisan bayi yang baru lahir. Dengan rasa sedih yang tak terhiraukan kami bubar seketika dari barisan. Dan memeluk guru kami tercinta walaupun itu cuma memeluk kakinya saja. Karena guru kami yang satu ini tinggi banget. Aku yang sebagai ketua kelas 3 waktu itu, dipersilahkan oleh temenku sekelas membawa dan memberikan kenang- kenangan dari kelas 3 yang cuma seharga Rp 8.500,00 dan surat tulisan tangan kami sendiri. Kakek Tua kita tersenyum lebar dan menggendongku tapi akunya malah minta turun, aku takut Kakek Tua keberatan soalnya aku adalah anak tergendut di kelas. Dan memang raut muka beliau terkesan agak keberatan. Aku tersenyum centil sambil minta maaf ke guruku itu karena sudah keberatan menggendongku. Eh…………………………………………………… malah beliau tertawa terbahak- bahak mendengar ucapan maafku. Aku tersipu malu dech jadinya. Kakeku yang satu ini menerima hadiah dari kelasku dan berkata kalau itu hal yang tidak akan pernah dilupakanya dan itu sangat berharga baginya.
Seketika aku menarik celana dinas coklatnya dan bilang, “ Tapi, Kek, maaf itu harganya cuma 8.500 rupiah lho!” aku berkata dengan culunya waktu itu. Pak Rukin tersenyum lagi dan bicara dengan nada rendah ,” Erza, harga suatu barang tidak penting yang penting niat dan ketulusan hati si pemberi. Dan mungkin dengan harga yang murah pun bisa sangat bermanfaat bagi kita.”. Aku tetap berdiri di samping guruku itu. Guru- guru meminta kami murid sekolah itu, berjabat tangan dengan beliau dan mengucapkan salam perpisahan. Aku menatap guruku dengan hati lega dan guruku pun membalas dengan begitu pula.

Kakek Tua kembali ke ruang guru dan membereskan semua barang- barang di mejanya. Dan sesekali begurau dengan para guru lainya. Aku merasa bangga yang kesekian kalinya. Guru yang akan kehilangan murid dan rekan kerja yang dicintainya, tetap bisa tegar dan menyembunyikan rasa sedihnya. Dalam hati aku bepikir, kalau guruku saja bisa tegar masa’ aku nggak bisa? Aku menghapus air mata di pipi tembemku dan tersenyum. Keesokan harinya Kakeku tersayang ini datang ke sekolah untuk menghadiri rapat komite sekolah dan rapat itu pun diperuntukan untuk perpisahan beliau. Dan yang bikin aku tercengang, Kakek tua ini maju ke depan dan membacakan surat dari kami kepada para undangan. Beliau membaca dengan penuh rasa haru sampai- sampai terlinanglah air mata di pipinya. Beliau mengatakan kalau surat itu sangat mengharukan, karena kita muridnya sangat memperhatikan beliau. Inilah salinan surat kami:
Assallamualaikum Pak Rukin !!!!!!!!!
Aku Erza, murid yang paling pinter ples imoet.
Pak ini kado dari aku, aku ngasih ini karena aku pingin Kakek bisa terus melakukan aktivitas, walaupun Pak Rukin nggak kerja lagi di sekolahku. Kek, kata dokter kalau kita sudah tua kita harus selalu mengisi hari- hari kita dengan pekerjaan, kalau kita diem aja kita akan cepat terserang oesteophorosis lho, Kek!
Kalau Kakek kena penyakit terus kan yang sedih muridnya juga kek! Jadi aku mau Kakek musti terus jaga kesehatan dan terus inget kata dokter di atas yaaaaaaa!!!!!!!
Kita sayaaaaaaaang banget sama kakek. Jangan pernah lupa ya kek pak sama kita. Salam buat keluarga kakek semua. Aku pasti akan kangen sama kakek, jadi sering- sering maen di sekolah! Moga pemberian aku berguna ya buat kakek! Dari Erza
Kakek tua ini keluar dari ruang rapat dengan langkah terseok- seok. Sembari mengusap kening yang terbasahi oleh derasnya air mata yang terlinang. Aku lari sekencang angin yang berhembus sejuk pagi hari itu. Selama mungkin aku memeluk tubuh renta guruku ini. Aku bisa melepaskan guruku, tapi pada saat seperti ini aku harus menangis meratapi rasa kehilangan yang mendalam dari lubuk hatiku.
Kakeku yang satu ini mengambil sapu tangan yang masih basah dari saku celana katunya, mengusap air mata yang tiada henti mengalir dari mata mungilku. Beliau menatapku sejenak. Aku mengerti sorot mata beliau sangat berat untuk meninggalkan murid dan sekolah tercinta. Aku memeluk beliau sekali lagi dan mungkin itulah perpisahan terakhir antara aku dan beliau. Sambil menggandengku, kami berdua tersenyum lebar menuju gerbang sekolah.

0 comments:

Post a Comment