Wednesday, August 25, 2010

Karena Usia Lanjut Si Besut Terlupakan

Akhir – akhir ini kata “BESUTAN” sudah mulai asing terdengar di masyarakat. Seni – seni pertunjukan tradisional mulai lenyap di tengah gebyarnya pementasan – pementasan drama modern, acara televisi, sampai dengan film – film yang berderar di bioskop. Itu semua mengambil alih peran seni tradisional sebagai sarana hiburan masyarakat. Banyak sebenarnya hal yang bisa kita dapat dari pementasan seni tradisional. Mungkin, karena penampilan yang kurang menarik dan keterbatasan pementasan, seni tradisional mulai tidak diminati masyarakat.

Hal ini menimbulkan dampak – dampak negatif terhadap beberapa golongan mmasyarakat. Mereka adalah kalangan mulai dari pecinta seni tradisional, pemain, sampai orang – orang yang berperan dalam pementasan tersebut. Sungguh ironis memang mendengar akan seni tradisioanl kita mulai punah. Namun, apa sebaiknya yang harus kita lakukan? Berikut ulasannya.

Seni tradisional yang sudah mulai punah di masyarakat salah satunya adalah besutan. Sebenarnya apa sih yang dimaksud dengan besutan? Mungkin itu perntanyaan anak remaja sekarang. Mereka sudah terlalu menikmati akan tayangan – tayangan modern, sehingga melupakan budaya daerahnya sendiri.
Besutan adalah kesenian tradisional asli Kabupaten Jombang yang merupakan pengembangan dari Kesenian Lerok dan merupakan cikal bakal Kesenian Ludruk di masyarakat. Kesenian Lerok merupakan kesenian yang bersifat amen. Pelakunya berpindah dari satu keramaian ke keramaian lain untuk menyuguhkan pertunjukan teater sederhana. Pelakunya semula tunggal yang melakukan monolog. Tetapi dalam perkembangannya pelakunya lebih dari satu orang. Hal tersebut dilakukan agar menambah daya tarik dari teater sederhana itu sendiri. Lakon yang dibawakan merupakan cerminan dari kehidupan sehari-hari. Sehingga, kita sebagai penonton dapat mengambil beberapa teladan dari sini. Dari bermacam - macam lakon yang disuguhkan, ternyata yang menggunakan tokoh Besut paling digemari penonton. Lama kelamaan, karena lebih sering melakonkan Besut, maka keseniannya kemudian disebut Besutan. Itulah sebenarnya nama “BESUTAN” diambil sebagai nama teater ini.
Kata besutan sendiri berasal dari kata besut. Besut itu merupakan akronim dari kata beto maksud yang berarti membawa pesan. Ada juga yang mengatakan besut berasal dari kata besot yaitu menari. Siapa sebenrnya si Besut tersebut? Besut merupakan nama tokoh utama dalam teater Besutan. Tokoh Besut merupakan sosok laki-laki yang cerdas, terbuka, perhatian, kritis, transformatif, dan nyeni.
Sedang menurut Mbah Jomblo, seorang seniman yang pernah memunculkan besutan kembali, merujuk dari kalimat bebet sing bermaksut. Artinya sesuatu yang dibebetkan (ditalikan atau dikuatkan) yang menyimpan maksud tertentu yang tersamar. Makna yang lebih gamblang bisa dikaitkan tentang soal keyakinan (baik keyakinan dalam agama, perjuangan, atau berkesenian) dalam hidup yang mutlak harus dipegangi bagi siapa pun.
Ketika Mbah Jomblo ditanya soal lerok, yang mana merupakan muasal munculnya sebutan dari seni Besutan, kata lerok berasal dari “liruk”: yang berarti gabungan dari pisahan huruf “li” peli yang berarti alat kelamin laki-laki, dan “ruk” turuk yang berarti alat kelamin perempuan. Memang kesan yang didapat “saru” atau jorok terlukis di sini. Tapi jika kita tarik dalam aras “kosmologi Jawa” akan terbentanglah berbagai jelajah tafsir yang luas dan bermacam-macam.
Sebagaimana dalam tradisi Hindu-Buddha, yang meyakini nilai-nalai tata kosmos alam “yin” dan “yang”, atau dalam kajian riset candi-candi di Jawa yang banyak mencandikan dalam bentuk patung-patung dari cerita-cerita pewayangan, mitos, dan legenda rakyat. Lepas dari tafsir yang selama ini kerap kita kenal, bahwa lerok adalah pertunjukan yang menampilkan tokoh ngamen dengan wajah yang dilerok-leroki atau dipupuri (dibedaki) warna putih dengan tak rata. Mungkin itulah inspirasi dari kata Lerok sendiri.
Kembali dalam besutan, untuk mendukung karakter tokoh Besut, beberapa tokoh lainnya yang selalu menemani dalam pentasnya yaitu, Rusmini, Man Gondo, Sumo Gambar, dan Pembawa Obor. Tokoh lain bisa dimunculkan sesuai kebutuhan cerita. Siapa sebenarnya mereka dan apa peran mereka juga karakter mereka dalam pementasan besutan? Besut yang gagah dan Rusmini yang cantik selalu menjadi sepasang kekasih atau sepasang suami istri. Sumo Gambar selalu berperan antagonis, sebenarnya sangat mencintai Rusmini, namun selalu bertepuk sebelah tangan. Man Gondo yang merupakan paman Rusmini, selalu berpihak pada Sumo Gambar, karena kekayaannya. Dengan tema apa pun lakon atau ceritanya, bumbu cinta segitiga antara Rusmini, Besut, dan Sumo Gambar selalu menjadi penyedapnya.
Jadi cerita cinta segitiga itulah yang selalu menjadi ciri khas dan merupakan hal yang paling ditunggu – tunggu oleh pecinta besut. Karena perbedaan karakter yang kontras menimbulkan greget tersendiri bagi para pemirsa. Ada yang membuat jengkel, senang, kadang kita juga turut trenyuh dalam ceritanya. Tapi, itulah asyiknya menonton besutan. Dan mungkin, yang dipentaskan merupakan kejadian yang pernah dialami oleh pemirsa.
Berbicara tentang pementasan, pastilah harus ada yang dikenakan. Tujuannya untuk lebih menarik dan menambah ciri khas dari pementasan itu sendiri juga memperkuat akan karakter tokoh masing – masing. Namun, bagaimana dengan busana yang ada dalam pementasan besutan ini? Sebenarnya sangat sederhana, untuk karakter tokoh Besut, tubuhnya biasa dibalut kain putih yang melambangkan bersih jiwa dan raganya. Tali lawe melilit di perutnya melambangkan kesatuan yang kuat. Tutup kepalanya merah melambangkan keberanian yang tinggi. Untuk busana Si Rusmini, merupakan busana tradisional Jombang, menggunakan kain jarik, kebaya, dan kerudung lepas. Untuk Man Gondo berbusana Jawa Timuran, sedang Sumo Gambar berbusana ala pria Madura.
Ulasan akan unsur – unsur dalam pementasan sudah dijabarkan. Tidak lega rasanya jika tidak mengetahi bagaimana ritual pementasan dari “BESUTAN” itu sendiri. Dalam pertunjukan Teater Rakyat Besutan, selalu diawali dengan semacam ritual yang berfungsi sebagai intro. Ritual ini menggambarkan bahwa Besut melambangkan masyarakat yang hidupnya terbelenggu, terjajah, terkebiri, dibutakan, dan hanya boleh berjalan menurut apa kata penguasa.
Dalam ritual, selalu dimulai dengan Pembawa Obor yang berjalan dengan penuh waspada, hati-hati, dan terus mengendalikan Besut yang selalu di belakangnya. Besut yang matanya terpejam menandakan dilarang banyak tahu, mulutnya tersumbat susur yang dilarang berpendapat, berjalan ngesot atau merayap mengikuti ke mana obor bergerak. Besut selalu sigap menanti setiap peluang. Pada satu kesempatan, Besut meloncat berdiri, tangannya merebut pegangan obor, dan dengan sekuat tenaga, susur yang ngendon di mulutnya disemprotkan ke nyala obor hingga padam. Mendadak matanya terbuka, mulutnya bebas, langsung menari dengan heroik.
Barulah cerita – cerita yang akan ditampilkan mulai dipentaskan. Dan, penutupan dari ritual tersebut adalah tepuk tangan dan teriakan penonton bergemuruh mengantar turunnya pemain besutan dari atas panggung.
Dengan cerita dan ritual yang sebegitu menariknya, hanya ada satu pertanyaan yang selalu muncul dalam benak masyarakat, “Mengapa pementasan “BESUTAN” sudah tidak terlihat lagi di masyarakat?” Itulah hal yang menarik untuk diamati dan dipecahkan.
Beberapa penyebab yang menimbulkan punahnya eksistensi “BESUTAN” Jombang dewasa ini. Seperti.
Ketidak adanya minat dari generasi – generasi seniman muda di Jombang. Hal tersebut sangat berpengaruh pada perkembangan seni tradisional daerah Jombang. Ketertarikan pada ilmu berakting di depan kamera atau bergabung dalam teater modern agaknya lebih unggul dari pada mereka harus berkecimpung di seni tradisional daerah yang memang untuk mengaktifkan kembali sangatlah susah.
Berikut beberapa penyataan yang diungkapkan oleh pemain seta orang – orang yang pernah menorehkan seninya di pementasan besutan. Mereka adalah Mbah Sami’un dan Mbah Tajib. Beliau – beliau ini merupakan penabuh kendang handal pada kelompok “BESUTAN” Jombang. Berbagai pendapat mulai mereka lontarkan. “Saya sudah tua sudah nggak mikirin itu lagi, anak sekarang kalau diajari bandel-bandel ya sudah,” kata Mbah Samiun. Senada, Mbah Tajib berkomentar, “Toh kenyataannya para generasi muda sudah punya pilihan sendiri untuk menentukan jalan hidupnya,”
Kesimpulan yang bisa ditarik dari pernyataan mereka adalah sebenarnya generasi – generasi muda kita tidak mempunyai minat dalam pengembangan kesenian ini. Mereka sudah memilih sendiri akan jalan hidupnya. Selanjutnya, para generasi tua sudah mulai lelah dan tidak kuat lagi dalam mengajar dan menurunkan bakatnya. Karena memang usianya juga tidak mendukung dalam melakukan hal – hal yang sekiranya tidak enteng lagi.
Harapan untuk mengembangkan dan melestarikan seni besutan seakan tak mampu lagi disuarakan. Dalam benak mereka, kejayaan “BESUTAN” yang lalu hanyalah merupakan cerita indah masa lalu yang hanya bisa dikenang. Kelestarian Seni Besut, Kini Tinggal Harapan…? Karena usia besut dan para pemain – pemainnya pun yang sudah mulai lanjut, kita hanya bisa menanti gerakan para generasi muda kita.
Memang sangatlah benar apa yang dikatakan oleh para senior “BESUTAN”. Berikut adalah pendapat dari dua siswa dari SMP dan SMA di Jombang tentang perkembangan kesebian “BESUTAN”. Ade Eka Asukma, merupakan siswa SMPN 2 Jombang. “Dengan mengikuti pelatihan serta program – program dari kesenian tradisional itu sangat menyita waktu. Lebih baik waktu dipergunakan untuk hal yang sekiranya sangat penting, seperti tugas, membaca buku, dll.”, ujarnya. Setali tiga uang, Riki Herdinansyah, seorang siswa SMA Muhammadiyah mengatakan, “Buat apa kita mengikuti program – program seperti itu, toh banyak sekali peluang yang mengantarkan kita sukses seperti, bekerja di kedokteran, perkantoran, dll”.
Cukup jelas terlihat bentuk penolakan para remaja terhadap pementasan itu sendiri. Tetapi masih ada beberapa remaja yang masih peduli terhadap seni tradisional yang merupkan maskot daerah kita. Sylvia Andriyani Kusumandari, siswi SMPN 2 Jombang ini menuturkan, “Sebenarnya pelatihan budaya seperti itu sangat dibutuhkan oleh para remaja sekarang. Selain untuk pembentukan pribadi, toh kita kan juga bisa menambah pengetahuan, juga yang paling penting, kita turut serta dalam mempertahankan budaya daerah kita.”
Keterbatasan alat dalam pementasan. Hal tesebut juga menjadi penghambat bagi perkembangan “BESUTAN” Jombang. Pementasan yang menarik pasti memerlukan peralatan yang mendukung. Mulai dari busana yang dikenakan, tempat pementasan, sampai musik yang mengiringi pementasan. Patilah sudah sangat susah mendapatkannya dan itu pun dalam nominal yang cukup besar. Belum lagi ditambah biaya pra pementasan seperti sosialisai pada masyarakat akan agenda pementasan sampai mencari sponsor dalam pementasan.
Dari keterbatasan alat tersebut, pastilah masalah utamanya adalah “Keuangan”. Bagaimana para penampil besutan dapat mengatasi masalah tersebut? Mungkin beberapa pemerhati seni mulai membantu kucuran dana, para anggota pun mulai sibuk dengan pencarian sponsor. Tetapi, jalan keluar yang paling mudah adalah pemerintah daerah sendiri yang seharusnya mulai menghidupkan kesenian terbut di mata masyarakat dengan pementasan “BESUTAN”.
Sebenarnya apa sih manfaat dari kembalinya pementasan “BESUTAN” di daerah? Banyak sekali manfaat yang bisa didapat dari pementasan kesenian tersebut. Yang paling penting adalah, terselamatkannya budaya kita yang merupakan maskot Jombang dari kepunahan. Sehingga gemerlapnya kesenian tradisional masih bisa menembus dan disejajarkan dengan pementasan – pementasan modern. Bahkan seharusnya ini harus lebih unggul dan manjadi hal yang selalu ditunggu – tunggu oleh masyarakat.
Mengobati rasa rindu para pecinta “BESUTAN”. Pastilah mereka sangat menanti – nanti akan hadirnya sosok Besut, Rusmini, dll. Dengan adanya pementasan kembali, pasti ini dapat mengobati kerinduan para pecinta besutan. Apalagi jika para pemain besutan tersebut berasal dari kalangan remaja sekarang, pasti mereka merasakan bangga tersendiri. Karena itu merupakan ajang manampilkan kreatifitas para remaja sekarang.
Menghilangkan rasa kekhawatiran akan punahnya kesenian tradisional. Dengan pemain – pemain yang masih kalangan muda, pasti generasi tua merasakan kelegaan sendiri. Karena dengan ini, generasi penerus yang akan dating masih bisa menikmati dan melihat gemerlapnya kesenian tradisional daerah mereka sendiri. Sehingga daerah kita masih mempunyai ciri khas tersendiri yang memang harus dibedakan dengan daerah lain.
Keuntungan secara ekonomi bagi para pemainnya. Beberapa pemain lama yang harus menganggur karena minimnya jadwal pementasan bisa tersenyum kembali. Karena dengan ini, mereka dapat meningkatkan taraf ekonomi mereka untuk melangsungkan hidup. Demikian juga daerah, daerah juga bisa mendapat keuntungan dari penjualan tiket tontonan. Sehingga dapat menambah kas daerah.
Kabupaten Jombang pun bisa lebih dikenal dengan pertunjukan besutannya. Sehingga dapat menarik orang – orang dari lain daerah untuk turut serta menikmati keindahan serta menariknya pementasan besutan. Sehingga dapat meningkatkan kualitas Jombang di mata masyarakat daerah lain.
Dengan beberapa keuntungan di atas, maka meninggalkan kesenian tradisional harus dipertimbangkan kembali. Apa seharusnya usaha kita sebagai pelajar untuk membantu memunculkan kembali pementasan kesenian tradisional, khususnya besutan? Berikut adalah beberapa hal yang mungkin bisa kita usahakan:
1. Mengikuti ekstrakulikuler yang berhubungan dengan kesenian tradisional di sekolah.
Dengan mengikuti kegiatan – kegiatan sekolah seperti karawitan, besutan, tari tradisional, dll dapat menumbuhkan rasa bangga pada siswa sendiri. Pada beberapa pertemuan, merek pun bisa mengadakan pementasan untuk lebih meningkatkan percaya diri dan mengenal dunia pementasan.
2. Banyak bertanya – tanya kepada yang lebih senior.
Dengan menambah pengetahuan demi pengetahuan, dapat membantu para remaja untuk lebih profesional dalam memainkan peran. Mereka juga lebih mengerti bagaimana seluk beluk tentang besutan.
3. Membuat komunitas atau club kesenian tradisional.
Para remaja sekarang cukup ngetren dengan pembentukan club – club seperti club drum band, club pecinta alam, dll. Apa salahnya jika kita dapat membentuk club atau komunitas tersendiri bagi kesenian tradisional kita. Dari kelompok inilah dapat dimunculkan jiwa – jiwa muda yang berbakat dalam seni. Toh tidak ada salahnya dengan pembentukan club seperti ini di daerah Jombang.
4. Unjuk kebolehan dalam pementasan sederhana.
Untuk tindakan lebih lanjut dari pelatihan dan program – program di atas, barulah mereka unjuk kebolehan dalam pementasan sederhana. Mungkin sekali tampil masih belum banyak yang menonton. Tetapi itulah perjuangan. Bisa dimulai lagi dengan mengedarkan selebaran – selebaran di sekolah – sekolah akan pementasan kesenian tradisional, sampai mengajak teman – teman terdekat untuk melihat.
Di atas adalah apa upaya yang seharusnya dilakukan oleh para muda. Perlunya harapan untuk pihak sekolah akan turut mengusahakan munculnya kembali greget generasi muda dalam kesenian tradisional. Harapan dari para muda adalah sebagai berikut.
1. Mencantumkan besutan sebagai salah satu ekstrakulikuler sekolah, sehingga siswa dapat berlatih di sekolah dengan fasilitas yang benar – benar memadai.
2. Pemanggilan pelatih yang benar – benar profesional dalam bidangnya. Entah dari guru bidang Seni Budaya dan Ketrampilan atau memanggil guru dari luar sekolah.
3. Diadakannya lomba antar kelas untuk kesenian – kesenian daerah seperti tari remo, besutan, karawitan, dll. Dengan acara – acara seperti itu, siswa dapat tergugah untuk mempunyai jiwa kompetisi.
4. Memberi penghargaan – penghargaan tersindiri bagi para siswa yang berprestasi, khususnya dalam kesenian tradisional. Dengan pemberian itu siswa merasa lebih dihargai dan lebih bangga akan kemampuannya. Sehingga secara tidak langsung, pihak sekolah juga mendorong siswa untuk lebih mengembangkan kemampuannya tersebut.
Harapan untuk sekolah seudah diungkapkan, harapan kita akan pemerintah pun tidak kalah pentingnya dengan tujuan yang sama untuk menumbuhkan besutan dalam masyarakat.
Sudah menjadi kebiasaan yang tertoreh di benak kita. Setiap Sabtu malam minggu, alon – alon Jombang dipergunakan sebagai pementasan wayang kulit yang selalu meriah dari minggu ke minggu. Tetapi, apa yang selalu kita lihat sekarang? Pementasan wayang tersebut sudah tergeser dengan panggung dangdut ecek – ecek dan panggung band – band yang lain. Memang kita mengetahui bahwa dengan diadakannya panggung pentas tersebut dapat menjadi ajang band – band muda untuk tampil, tapi apa manfaat yang bisa diperoleh oleh para penonton? Hanyalah kesenangan dan hiburan belaka yang bisa mereka dapatkan. Kadang pertunjukan pun berakhir dengan kisruh dan anarkis antar penonton. Apakah itu yang diinginkan oleh masyarakat kita sekarang?
Sangatlah rugi kita menggeser kedudukan wayang kulit dari jadwal tontonan Sabtu Malam Minggu. Banyak hal yang dapat diambil dengan menonton kesenian tradisional. Karena memang mereka ingin membawa amanah dan maksud sendiri untuk direnungkan para pemirsanya.
Sebenarnya sangatlah sederhana harapan para muda. Dapat disimpulkan dalam uraian berikut.
1. Memperhatikan nasib dan keberadaan seniman – seniman besut daerah.
Karena besutan merupakan salah satu maskot daerah Jombang, alangkah baiknya biaya untuk besutan dan kesenian tradisional lain dianggarkan. KENAPA PEMERINTAH JOMBANG HANYA TERUS MEMPERHATIKAN PROGRAM ADIPURA SAJA? APAKAH POTENSI DAERAH KITA HANYA ADIPURA? ATAU MEMANG PEMERINTAH TIDAK BISA MEMPERJUANGKAN KEMAKMURAN RAKYATNYA? BAGAIMANA DENGAN KEPENTINGAN PENDIDIKAN, KESEHATAN, APALAGI UNTUK MEMPERHATIKAN KESENIAN TRADISIONAL KITA? Tidak ada yang perlu disalahkan, namun, bagaimana masing – masing dapat menyadari kekurangan masing – masing.
2. Mengaktifkan kembali acara pertunjukan wayang kulit sebagai tontonan Sabtu Malam Minggu.
Renungkan, apakah dengan digantinya wayang kulit dengan panggung dangdut lebih bermanfaat dan mendidik generasi muda. Tidak kan. Malah banyak orang yang berpikir bahwa pementasan dangdut tersebut hanya ajang berbuat mesum. Apakah itu yang ingin ditorehkan dalam kebiasaan generasi muda Kabupaten Jombang?
3. Mencari bibit muda dengan mengadakan lomba antar kecamatan.
Dengan lomba – lomba yang ada di daerah, dapat membangkitkan percaya diri akan kemampuan mereka. Dan mereka akan berpikir bahwa kemampuan mereka ternyata tidak sia – sia.
4. Memberi penghargaan – penghargaan tersendiri bagi para siswa yang berprestasi, khususnya dalam kesenian tradisional.
Dengan pemberian itu siswa merasa lebih dihargai dan lebih bangga akan kemampuannya. Sehingga secara tidak langsung, pihak sekolah juga mendorong siswa untuk lebih mengembangkan kemampuannya tersebut.
5. Ditampilkannya kesenian tradisional dengan kombinasi yang cantik antara tarian, musik karawitan, besutan, dan wayang kulit.
Dengan pementasan yang begitu memperhatikan kesenian tradisional dapat menunjukan kepada masyarakat gemerlap dan betapa indahnya seni tradisional kita. Sehingga menimbulkan rasa tidak ingin kehilangannya dengan maskot daerah Jombang tersebut.
Sekarang yang penting adalah bagaimana peran para muda untuk menyelamatkan kepunahan seni tradisional kita.
Sekecil apapun peran kita di dalamnya, itu sudah menjadi pengabdian bagi daerah. Karena apa pun itu, budaya kita tidak punah dan akan terus bersinar di hati masyarakatnya. Mari selamatkan budaya kita.

0 comments:

Post a Comment